Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 19 Januari 2016

[Book Review] Love Sparks in Korea



Judul         :  Love Sparks in Korea
Pengarang : Asma Nadia
Penerbit     : Asma Nadia Publishing House
Tebal          : 380 halaman

Rania adalah penulis yang juga pecinta travelling. Baginya, menjelajah ke negeri-negeri yang jauh adalah cara untuk menelusuri jejak-jejak cinta Allah yang terhampar di bumi. Sekian lama terbang dari satu tempat ke tempat lain, keluarga mulai membujuk Rania untuk memikirkan soal pendamping hidup. Tempat hatinya pulang. Bukankah sudah saatnya?

Di tanah air, ada Ilhan, seorang teman lama yang diam-diam selalu memikirkannya dari kejauhan. Bahkan, lelaki ini bersedia menaklukkan ketakutan terbesarnya demi meraih Rania.

Di sisi lain, takdir mempertemukan Rania dengan Hyun Geun. Penjelajah yang memandang dunia dari balik lensa kameranya hanya dengan dua warna: hitam-putih.

Tapi Rania menyimpan satu beban yang dipikulnya sendiri. Rahasia yang mungkin akan membuat lelaki mana pun berpaling menjauhinya.

*

Rabu, 13 Januari 2016

Hindari Cacat Bawaan pada Bayi dengan Asam Folat


Mungkin kita sering mendengar vitamin yang satu ini disebut-sebut dalam iklan multivitamin ibu hamil, atau justru sudah mulai rutin mengkonsumsinya karena sedang merencanakan kehamilan? Asam folat termasuk dalam kelompok vitamin B yang dibutuhkan untuk pembelahan sel. Masa awal kehamilan adalah periode penting terjadinya pembentukan organ janin, karena itulah asam folat sangat dibutuhkan pada masa ini.

Rabu, 03 Juni 2015

Benarkah Kecanduan Selfie Termasuk Gangguan Mental?


Ciyus nih, bro? -_-"



Beberapa minggu lalu, seorang senior saya, lewat akun Facebook-nya, membagikan tautan artikel yang menjelaskan bahwa American Psychiatric Association (APA) baru-baru ini memasukkan kecanduan selfie menjadi suatu diagnosis gangguan mental (mental disorder) yang disebut selfitis. 



Selfie adalah aktivitas memfoto diri sendiri atau hal-hal lain seputar kehidupan diri sendiri. Tren selfie meledak di tengah kita seiring dengan semakin masifnya popularitas smartphone. Smartphone hampir selalu dilengkapi dengan kamera dan aplikasi pengedit foto yang memungkinkan kita memoles foto diri menjadi lebih mulus dan sempurna. *Anyone familiar with Photoshop and Camera360? Hehehe* 

Belum lagi makin menjamurnya akses internet dan tentu saja aplikasi media sosial! Kombinasi sempurna untuk memanjakan kebiasaan selfie kan? Bahkan, "selfie" baru-baru ini dimasukkan ke dalam perbendaharaan kata di Oxford's Online Dictionary
Selfitis didefinisikan sebagai hasrat obsesif kompulsif yang berlebihan untuk memfoto diri sendiri dan mengunggahnya di media sosial. Kecanduan selfie mengindikasikan bahwa pelakunya mungkin memiliki rasa percaya diri yang kurang, harga diri yang rendah, juga kemampuan yang lemah dalam hubungan interpersonal di dunia nyata. Mereka berusaha keras memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut dengan berupaya menarik perhatian atau mencari sebanyak mungkin teman/ pengagum agar eksis di dunia maya.

Senin, 13 April 2015

Lagi, Karya John Green Bakal Difilmkan!



Padahal, saya bahkan belum sempat nonton The Fault in Our Stars, film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya John Green... Eh, ternyata udah digodok aja film The Paper Towns, yang juga merupakan hasil adaptasi novel Green.

Film ini rencananya akan dirilis pertengahan tahun 2015. Yang bakal memerankan tokoh utama Quentin "Q" Jacobsen adalah Nat Wolff. Sebelum membintangi The Paper Towns, Wolff sudah bermain dalam cukup banyak film. Penampilannya yang sudah pernah saya tonton baru di satu film saja, yaitu Admission. Di situ, akting Wolff lumayan bagus. Semoga dia bisa menjiwai tokoh Q yang labil tapi setia :)

Saya dengar, banyak juga penggemar novel The Fault in Our Stars yang kecewa usai menyaksikan versi filmnya. Seorang teman saya (yang belum pernah baca bukunya) bilang, filmnya boring. Yah, seperti biasa, itulah kontroversi yang muncul bila ada film yang dibuat berdasarkan novel laris. 

Menurut saya, kekuatan novel The Fault in Our Stars dan The Paper Towns memang bukan pada alur cerita yang dinamis atau menegangkan, tapi lebih pada kedalaman filosofinya. Jadi mungkin butuh penulis skenario dan sutradara yang betul-betul mampu mentransfer kekuatan dalam novel itu menjadi adegan dan dialog yang berkesan. Kalau tidak, salah-salah ya filmnya jadi datar dan, seperti pendapat teman saya tadi, boring.

Saya sendiri penasaran, bagaimana konsep "kota kertas" yang dijabarkan John Green dengan apik dalam buku, akan divisualisasikan nantinya. Dan tentu saja, saya juga menantikan bagaimana perjalanan legendaris Q dan kawan-kawan  selama 19 jam yang heboh itu akan diwujudkan dalam adegan-adegan film. 

Baiklaaah... Sambil menunggu film The Paper Towns naik tayang, kita baca dulu aja yuk novel dan resensinya di sini. ;D

Nat Wolff as Q


Cara Delevingne as Margo

Kamis, 09 April 2015

Siapa Duluan Nyatakan Cinta?



Diskusi ini berawal dari komentar ngga penting saya pada sebuah video di youtube. Video itu adalah cuplikan adegan pengakuan cinta dalam film Something Borrowed. Film lawas ini dibuka dengan adegan Rachel, seorang pengacara lajang di New York, berada di tengah pesta ulang tahunnya yang ke-30. Saat mengobrol dengan Dex, kawannya di kampus dulu, Rachel yang sudah setengah mabuk alkohol keceplosan mengaku bahwa dia sudah naksir Dex sejak bertahun-tahun lalu. Padahal Dex sekarang sudah bertunangan dengan Darcy, sahabat Rachel.

Suasana berubah awkward selama beberapa saat. Lalu... Ternyataaa Dex balas mengaku bahwa dia pun memendam rasa yang sama terhadap Rachel sejak dulu. Gara-gara Dex yang tampil "cuma sebatas teman", Rachel jadi ragu-ragu menyatakan perasaannya. Apalagi ketika Darcy yang agresif dan agak terlalu asertif itu muncul di antara mereka berdua, dan langsung memperlihatkan ketertarikannya pada Dex. Dex tidak menampik perhatian Darcy, membuat Rachel memutuskan untuk menyembunyikan perasaannya. 

Karakter Dex yang menurut saya plin-plan, ditambah lagi Rachel yang terlalu mengorbankan kebahagiaan sendiri demi mendahulukan sahabatnya, Darcy, menjadikan hubungan antara Dex dan Rachel jadi maju-mundur ngga jelas di sepanjang film.

Di situlah saya merasa sedih.. Eh, di situlah saya jadi tergelitik untuk memposting komentar pada video Youtube itu.

Selasa, 07 April 2015

(Book Review) Kota Kertas


Judul             :  Kota Kertas
Pengarang    :  John Green
Penerjemah  :  Angelic Zaizai
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Tebal             : 360 halaman

Karya John Green yang diterbitkan di Indonesia Oktober lalu ini sebetulnya sudah lama saya tamatkan tapi.. yah, begitulah, lagi-lagi baru sekarang saya sempat menulis review-nya. *Alesan. Hehe* Kota Kertas adalah buku ketiga John Green yang saya baca setelah Salahkan Bintang-bintang dan Mencari Alaska.

Seperti kedua buku tersebut, Kota Kertas masih berkisah seputar kehidupan remaja dengan segala kekacauan sekaligus renungan filosofisnya. Kali ini, tokoh utama cerita adalah Quentin Jacobsen alias Q, remaja biasa-biasa saja yang sedang menjalani tahun terakhirnya di SMU bersama dua sahabat karibnya yang juga tak populer, Marcus "Radar" Lincoln dan Ben Starling.

Radar, yang IT freak, terobsesi untuk sesempurna mungkin mengedit dan mengelola Omnictionary, semacam situs referensi online ala Wikipedia. Sedangkan Ben terobsesi untuk memperoleh teman kencan yang bersedia diajak ke pesta prom saat kelulusan mereka nanti. Q sendiri punya obsesi yang disimpannya sejak lama: Margo.

Margo Roth Spiegelman adalah teman masa kecil sekaligus cewek yang selama ini ditaksir Q diam-diam. Pertemanan mereka lumayan dekat dulu, namun menginjak masa remaja entah mengapa menjadi renggang. Margo tumbuh menjadi gadis yang cantik namun eksentrik, dan bergabung dengan geng murid-murid populer di sekolah. Sementara Q--yang dulu sering jadi bulan-bulanan keisengan teman-teman segeng Margo, tetap berada di "kasta rendahan" dan hanya mengagumi Margo dari kejauhan. 

Anehnya, tiba-tiba suatu tengah malam, Margo muncul di jendela kamar Q dengan wajah tertutup cat hitam, mengajak Q terlibat dalam segudang rencana absurdnya, saat itu juga. Q awalnya enggan menanggapi, mengingat sudah bertahun-tahun ini Margo bisa dibilang mengacuhkannya.